Thursday 16 September 2010

Kisah 2 Bocah Penjual Koran

Bedug magrib diiringi suara adzan telah berkumandang. saya dan teman-teman beristirahat dan mulai berbuka puasa di pinggir jalan Gubernur Suryo (dapan rumah dinas Gubernur JATIM), tepatnya depan Taman Apsari Surabaya. Waktu itu kami sedang berbuka puasa, dan memakan kue ta’jil yang kami bawa dari rumah. Lalu tiba-tiba datanglah dua bocah laki-laki penjual koran, dengan wajah yang lugu mereka memelas kepada kita untuk membeli korannya. Karena wajah lugu mereka saya dan teman-teman pun tak tega melihatnya, lalu kami pun mengajak mereka untuk bergabung dan berbuka bersama kita.

Uniknya tiba-tiba, salah satu dari mereka, anggap saja namanya A (karena saya lupa menanyakan siapa nama mereka), dia memamerkan sepotong baju baru kepada kita, sambil membuka bungkusan tas plastik, mereka bilang, “mbak, liat ini tadi aku dikasih baju sama orang dipinggir jalan.”, “Bajunya bagus, wah bisa buat lebaran itu.” Sahut temanku. Lalu si A menjawab, “tapi baju ini mau saya jual mbak, biar dapat uang, trus uangnya dibuat lebaran.” Kami serentak pun bilang, “Jangan!”, “itu baju kamu pakai saja buat lebaran, kalau dikasih orang itu harus dipakai, jangan dijual lagi, gak boleh, kamu harus menghormati orang yang memberimu baju itu” sahut salah satu temanku. Lalu saya menambahi, “kamu lho bakalan keliatan ganteng kalau pakai baju itu, udah jangan dijual, nanti sampe rumah tunjukkan ibumu pasti senang.”, lalu si A membalas, “iya deh mbak gak jadi tak jual.” Lalu ia pun memasukkan kembali ke dalam tas plastik warna kuning itu.

Lalu saya dan teman-teman mencoba untuk tanya-tanya tentang kehidupan mereka, akan tetapi mereka menjawabnya dengan guyonan, Bocah berbadan sedikit gendut, anggap saja namanya B bilang, ”mbak sama mas ngapain tanya-tanya gitu, kita mau jawab kalau mbak-mbak dan mas-mas ini beli koran kita.”, “Beresssss!!!” sahut kita bersamaan. Tapi bocah satunya, si A malah gak mau kita tanyain, apalagi pas kita mau foto mereka, dia benar-benar menolak, malah dia menyahut, “mbak jangan ditanya-tanyain dan di foto gitu dong, kami takut, kami gak mau masuk koran.” Serentak kami pun tertawa, lalu saya menjawab, “ tenang adek-adek kami ini bukan wartawan kok, kami cuma pengen sekedar tau aja. Lagian ngapain mesti takut, kalian kan kerja jualan koran, bukan pengemis atau gelandangan, jadi gak perlu takut.”

Dalam hal ini intinya saya ingin sekali mendapat sedikit informasi tentang kehidupan mereka. Karena saya memiliki pemikiran bahwa anak-anak seusia mereka itu seharusnya berada di rumah untuk belajar, tapi mereka malah berkeliling di tengah kota demi mencari rupiah. Setelah hampir lebih setengah jam saya dan teman-teman saya ngobrol dengan dua bocah penjual koran itu, kami tetap tidak mendapatkan informasi sedikitpun tentang kehidupan mereka. Yang ada mereka malah guyonan, dan akhirnya kami pun malah guyonan bareng dipinggiran jalan. Karena hari semakin malam, tepatnya waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB, saya dan teman-teman pun segera beranjak dan meninggalkan tempat, dan berpamitan kepada mereka Lalu tiba-tiba si bocah A bilang kepada kami, “mbak, mas kita boleh numpang sampai depannya Delta gak.”, lalu saya pun menjawab, “iya boleh, ayo tak bonceng sini.” Akhirnya pun saya memboceng dua bocah tersebut sampai depannya Delta Plaza. saya pun akhirnya mengambil kesempatan itu untuk bertanya-tanya lagi sama mereka, diatas motor yang sedang saya kendarai akhirnya mereka pun mau bercerita sedikit tentang kehidupan mereka.
Si bocah A akhirnya mulai bercerita, si bocah A dan bocah B ini adalah anak kelas 5 SD, dia bersekolah di SD dekatnya Jalan Wijaya Kusuma (mereka tidak menyebutkan nama sekolahnya apa), mereka tinggal di perkampungan kecil di daerah dekat Kotamadya Surabaya/Balai Kota Surabaya, mereka adalah tetangga yang memiliki nasib yang sama. Lalu si bocah A ini mulai bercerita bahwa bapaknya dia adalah seorang tukang becak, yang berpenghasilan sangat pas-pasan, dan ibunya ini juga tidak bekerja, jadi ayahnya yang hanya seorang tukang becak itupun menjadi tulang punggung keluarga. Lalu si bocah B giliran bercerita, bapaknya adalah seorang tukang sapu yang biasanya membersihkan jalan-jalan, terus ibunya adalah seorang tukang cuci keliling rumah ke rumah. Tujuan utama mereka berjualan koran adalah untuk membantu meringankan beban orang tuanya, biasanya mereka berjualan koran setelah pulang sekolah sekitar pukul 12.00 siang sampai malam pukul 22.00. lalu saya bertanya, “Lho, terus kapan kalian belajarnya?”, mereka pun menjawab, “ yo sinau’e pas wayahe ulangan tok mbak, awak dewe kesel mbak mari dodolan koran yo langsung turu.” (kita belajarnya kalau ulangan saja mbak, kan kita capek mbak, abis jualan koran langsung tidur), dengan logat suroboyoan mereka menjawab dengan santai. Lalu saya pun sedikit memberikan nasehat kepada mereka, bahwa pendidikan jangan sampai terlupakan, Dengan lugunya mereka cuma mengangguk, saya bisa melihat ekspresi wajah mereka dari kaca spion motor saya. Mereka juga bilang bahwa penghasilan mereka menjual koran ini adalah sekitar Rp. 15.000,- s/d Rp. 20.000,- per hari, dan bila korannya gak habis, maka mereka harus mengembalikannya lagi ke agennya. Tapi mereka juga bercerita, terkadang mereka juga bisa mendapatkan hasil yang lebih, yaitu penghasilan dari hasil belas kasihan orang-orang, kadang juga ada orang yang hanya memberi mereka uang saja tanpa membeli koran mereka. Lalu saya bertanya, apakah penghasilan segitu cukup bagi mereka, dan uangnya dibuat apa?, si bocah A menjawab, “yo cukup ae mbak, duite tak gawe jajan, trus sebagian tak kekno ibuku, bapakku jarang ngeke’i aku duit mbak” (re: Ya cukup saja mbak, uangnya tak buat jajan, trus sebagian tak kaihkan ke ibuku, bapakku jarang ngasih aku uang mbak). Akhirnya saya pun sampai juga di depan Jl. Pemuda tepatnya di depan Delta Plaza, saya menurunkan mereka disitu, sebelum berpisah saya pun melakuakn ‘tos’ dulu sama mereka, dan bilang, “belajar sing pinter yo le!” dan saya melihat mereka dari pinggir jalan, dengan semangatnya mereka berlarian dan mulai menjual koran mereka lagi kepada orang-orang yang lewat. Lalu saya dan teman-teman yang lain pergi meninggalkan mereka.

Dari pengalaman saya ini, saya bisa menyimpulkan bahwa hidup di kota metropolitan seperti Surabaya ini sungguh sulit. Semua serba mahal, ekonomi adalah kendala utama kita untuk bertahan hidup. Mereka anak-anak kecil yang seharusnya menghabiskan waktu mereka di rumah untuk belajar dan bermain, justru mereka malah menghabiskan waktu mereka di pinggiran jalan, di tengah kota yang berdebu hanya untuk mencari rupiah. Dua bocah penjual koran tersebut adalah salah satu potret kota metropolitan yang bisa kita buat sebagai pelajaran, bahwa hidup ini begitu keras dan penuh perjuangan. Kita bisa mencontoh semangat-semangat mereka dalam mempertahankan kehidupan yang keras ini. Setiap hari mereka berjualan koran, seperti tak ada beban dalam hidup mereka, justru mereka terlihat begitu riang dan ceria. Saya pun yang sudah mahasiswa justru terkadang masih belum bisa hidup mandiri, uang jajan terkadang masih minta sama orang tua. Dan kisah itu membuat saya sadar bahwa saya harus lebih mandiri dan bersyukur atas apa yang saya dapatkan. Hidup ini susah, tapi kita harus menjalaninya dengan penuh semangat dan kemandirian.